Ferry Tenka : Bagaimana Saya Membangun Disdus, Website Daily Deals No 1 di Indonesia
Key Quotes :
Karena bagaimanapun juga kita mau membangun sebuah bisnis, bukan membuat website.
Yang menentukan sukses atau tidak itu bukan dari ide, tapi dari
execution, the main focus of startup is execution, invest on companies
that is focus on execution, not marketing research or game show.
Hardwork sudah tidak usah ditanya ya, karena sampai sekarang pun saya masih cukup sibuk. Sehari kerja 12 jam.
Semakin lama kalian menunggu jadi entrepreneur, semakin lama kalian
bekerja sebagai employee, semakin tidak mungkin kalian jadi
entrepreneur.
Smart people harusnya create jobs saja. Karena unemployment level di dunia sangat tinggi, we should create jobs.
.
Siapa yang belum pernah melihat iklan online dengan gambar burger
dengan tulisan : “Diskon 70-80% ! Setiap hari ! ” Ini adalah artikel
tentang biang dari iklan burger tersebut.
Disdus, yang didirikan oleh
Ferry Tenka dan
Jason Lamuda
adalah website daily deals dengan market share 80-85% dan (kabarnya)
merajai transaksi klikBCA. Kedua foundernya memiliki keuletan luar biasa
dan kemampuan eksekusi hebat.
Beberapa moves mereka membuat saya terkaget-kaget : Pertama kali saya
bertemu mereka di April 2010 saat itu mereka bilang sedang membuat
Citzel.com – Foursquare-like city review, tiba-tiba pada Agustus 2010
mereka melaunch Disdus -sebuah situs yang memberikan diskon besar, pada
akhir 2010 mereka melakukan join promo dengan Kaskus, yang berarti
mereka berhasil mengakses (maybe the most) killer online distribution
channel di Indonesia, akhir 2010 mereka mendapatkan investasi dari
East Venture dan tiba-tiba di April 2011 mereka diakuisisi oleh Groupon
“the fastest growing company ever” lalu
sepanjang 2011 kita semua menyaksikan perang iklan online antara Disdus
dan Living Social yang budgetnya gila-gilaan dan membuat traffic Disdus
sampai begini :
Situs Daily Deals seperti Disdus adalah jenis startup tipe sales,
yang harus sangat kuat dalam sales operational, dari cara wording dan
pitching ke merchant, manage target, building team sampai memberikan
motivasi. Tidak heran saat ini Disdus memiliki 140 karyawan yang
mayoritas sales. Ferry Tenka (kelahiran 1985) yang saat ini menjabat
sebagai CEO Groupon Indonesia membagikan experiencenya saat membangun
Disdus, bagaimana ia melakukan pitching “cowboy style” di awal
membangunnya dan bagaimana strateginya dalam membesarkan Disdus, sebuah
bisnis yang bernilai - “dua digit-miliar” – dalam dua tahun.
Pengalaman membangun Disdus seperti apa?
Kita membuat Disdus tahun 2010, development mulai Juni-Juli, dan baru
launching bulan Agustus. Lalu kita jalan sendiri, sampai kurang lebih
bulan November, baru EV (East Venture) masuk ke Disdus. Empat bulan
kemudian, tepatnya di bulan April, Groupon acquire kita.
Andrew Darwis (dari Kaskus) itu lebih sebagai silent partner kita.
Dia tidak terlibat setiap hari, dia juga tidak bisa dibilang shareholder
atau gimana, tapi dia memang support kita. Karena saya dari dulu kenal
dengan Andrew. Jadi dia support kita di awal-awal, tapi untuk operation
setiap hari tidak terlibat.
Dulu kita pernah disupport awal-awal oleh Kaskus ketika ingin
mendapatkan member. Tapi memang business type-nya berbeda. Karena Kaskus
lebih ke arah community atau forum. Sementara kalau kita benar-benar
sales company atau e-commerce. Jadi modelnya cukup berbeda.
Untungnya, kita berkembang cukup cepat. Kita launch bulan Agustus
2010, di bulan September sudah diapproach oleh EV. Sekitar
November-Desember kita sudah cukup dekat dengan EV. Lalu kita
di-approach oleh Groupon juga kurang lebih sekitar bulan Februari 2011,
dan mulai dekatnya di bulan April 2011.
Jadi waktu itu memang lumayan sibuk juga. Mengurus tentang valuation,
lalu ketemu investor, dan segala macamnya itu cukup menjadi pengalaman
tersendiri juga untuk kami. Karena waktu itu, saya dan Jason memulai
dari nol pada dasarnya. Di mana awalnya kita tidak tahu apa-apa tentang
valuation of the company.
Dari sisi ini, menurut saya EV banyak membantu kita juga. Salah satu alasan kita mau bekerja sama dengan EV juga karena
Willson
itu very easy to work with. Sehingga ketika kita diinvest oleh EV,
tidak terlalu susah prosesnya. Menurut saya, jauh lebih mudah dibanding
most of venture capital yang ada.
EV sedikit lebih relax. Begitu kita sudah masuk ke EV, Wilson banyak
membantu kita dari sisi cara perhitungan valuation, talk to “bigger guy”
like Groupon itu gimana caranya. Lalu hal-hal apa saja yang penting
agar valuation kita bisa lebih bagus di mata Investor. Kita banyak
belajar juga dari EV.
Sebenarnya valuation of the company itu banyak tergantung dari type
of VC juga. Kalau seperti Groupon itu kan sales company, atau e-commerce
in general. Jadi angkanya simply based on numbers, based on sales dan revenue. Revenue-nya berapa, itu yang akan menentukan valuation of the company-nya berapa.
Di dunia e-commerce itu yang paling penting intinya adalah revenue.
Kita harus push revenue sedemikian rupa agar menarik di mata investor.
Beda dengan community site seperti Kaskus yang lebih dari sisi
membernya. Membernya ada berapa banyak ? komunitasnya hidup atau tidak,
yang posting di forumnya setiap hari ada berapa banyak. Itu valuation of
kaskus.
Kalau dari kita sebagai e-commerce, mungkin lebih terfokus pada
sales. Membernya berapa banyak itu nomer dua, yang penting sales kita
tinggi. E-commerce is all about pushing your sales. Di mana cara
mendorong sales itu bermacam-macam, bisa dengan kita menjual produk yang
harganya lebih mahal, atau mungkin juga kualitas produknya lebih
diperbaiki.
Untuk langkah selanjutnya, mungkin dari segi infrastrukturnya,
seperti yang saya katakan tadi. Provide a good infrastructure yang bisa
membuat customer comfortable belanja di website kita. Infrastructure ini
akan mendorong sales nantinya.
Kalau website-website yang kita buat, biasanya push-nya ke sales
saja. Dimana websitenya cukup simple sebenernya, tidak ada inovasi
konsep yang aneh-aneh. Simple, jual barang saja, tapi gimana kita push
penjualannya agar lebih tinggi.
Untuk scale Disdus ini bagaimana?
Jadi waktu kita menjalankan Disdus, website lain di tech industry
Indonesia yang sudah experience bigger scale seperti Groupon itu hampir
tidak ada. Kita tidak punya banyak tempat nanya. Kita sempat lumayan
struggle juga dari sisi infrastruktur, contohnya logistik. Logistic
third party yang bisa support e-commerce itu tidak ada di Indonesia.
Customer Service system yang bisa support untuk scale besar juga
belum ada saat ini. Jadi segala sistemnya itu basically kita yang harus
implemen sendiri dari nol. Karena kalau di Groupon sekarang per Juli
2012 kita ship produk sekitar 2.000 produk sehari.
Kita bekerja sama dengan JNE sekarang, JNE pun agak kewalahan. Karena
kita perlu yang cepat. A good customer experience biasanya adalah
ketika kita beli hari ini, lalu besoknya dikirim, dan kita bisa langsung
tahu bahwa barangnya sudah on the way. Nomer trackingnya nya sekian,
tinggal cek tracking di JNE.
Tapi karena kita kirim 2.000 barang sekali drop, JNE menyesuaikan
balik ke kita dengan informasi semua nomer tracking itu lama juga.
Mungkin sekitar 4-5 hari baru bisa dapat. Jadi harus kita develop
infrastructure lagi dari nol.
Seperti misalnya dengan kita mempekerjakan orang di JNE, yang
melakukan semuanya khusus untuk kita. Jadi kita punya orang di JNE yang
khusus mengurus order kita saja, biar bisa cepat dikirim. Karena
biasanya customer suka komplain kalau kelamaan. Jadi infrastrukturnya
memang belum siap kesana juga.
Setelah Groupon masuk pada April 2011, ada lesson learnt lain tidak?
Cukup banyak sih. Yang tadi saya pelajari dari sisi EV dan Wilson
sejak dia masuk bulan Desember 2010 sampai April 2011. Yang kita
pelajari adalah gimana caranya kita bernegosiasi dengan Groupon, mereka
bantu push juga. Gimana kita bisa push sales kita supaya valuation kita
naik.
Di bulan April, ketika kita sudah dengan Groupon, banyak banget yang
kita pelajari. Salah satu hal yang menurut saya paling banyak dipelajari
dari Groupon adalah knowledge. Groupon mengajarkan kita yang pertama
adalah: fokus.
Ketika pertama kali masuk, banyak banget kompetitor yang join dan
masuk ke space yang sama. Intinya kita harus membedakan penjualan kita
dari kompetitor, dengan cara kita harus fokus ke satu hal yang menurut kita paling penting.
Banyak yang bisa difokuskan, seperti misalnya online marketing. Kalau
kita mau fokus di brand awareness, berarti kita harus invest banyak
pada pasang iklan di offline. Mungkin juga kita mau fokus di jumlah
member, agar jumlah membernya meningkat. Sementara pada saat itu, fokus yang Disdus pilih adalah quality of deals.
Jadi ketika Groupon masuk, mereka mengatakan bahwa untuk konsep ini yang harus difokuskan adalah quality of deals.
Kita invest banyak untuk mengembangkan quality of deals kita. Caranya
adalah kita hire banyak orang, untuk screening setiap deal yang masuk.
Intinya adalah di sini kita jualan deals. Kalau ada tim sales yang
memberikan deal ke kita, setiap deal ini harus melewati beberapa proses.
Harganya sudah cukup bagus atau belum, diskonnya cukup menarik atau
tidak, itu semua dianalisa dulu. Dengan diskon segini kira-kira bisa
terjual berapa banyak, komisinya sudah cukup besar belum.
Quality of deals itu sangat-sangat penting untuk kita. Jadi itulah
yang kita fokuskan. Makanya kalau kita lihat, Groupon tidak terlalu
banyak pasang iklan offline. Kita tidak pernah pasang billboard, kita
tidak pernah pasang di mall. Kalau online memang banyak. Tapi kalau
online secara relative lebih murah harganya daripada offline.
Kita tidak terlalu agresif di offline sebenarnya. Paling hanya 5-10%
of our online advertising budget. Tapi fokusnya lebih ke quality of
deals. Kita lebih banyak hire tim untuk scan deals, karena kita fokusnya
disitu. Kita belajar satu hal bahwa fokus itu penting.
Tentukan dulu bisnisnya seperti apa, hal apa yang perlu difokuskan,
dan mau fokusnya gimana caranya, itu yang penting. Itu kita apply bukan
cuma ke Groupon saja.
Jadi yang saya pelajari, pertama pilih fokus apa yang mau diambil.
Dan pemilihan fokusnya itu juga penting. Jangan sampai salah pilih.
Mungkin ada kompetitor kita yang fokusnya ke offline marketing. Banyak
sekali exposure brand awareness, tapi ke depannya brand awareness itu
kan cukup mahal harganya.
Ke depannya, kalau keuangannya tidak mencukupi, tidak kuat untuk
bertahan lama pun bisa jadi berantakan juga. Jadi penting pemilihan
fokus kita mau dimana. Dan kalau sudah pilih satu hal yang menurut kita
itu yang terbaik, harus fokus disitu.
Itu bukan proses yang cepat. Kita butuh sekitar 4-5 bulan, sebelum
apa yang kita invest itu membuahkan hasil. Bisa dilihat, dulu itu market
share Disdus di konsep daily deals pada bulan April 2011, paling hanya
sekitar 40% market sharenya. Kalau sekarang market share kita sampai
85%.
Kalau based on revenue itu lebih mudah dilihatnya, dari sisi
penjualan kita berapa dan berapa harga setiap vouchernya. Jadi, voucher
yang terjual berapa banyak, dan harganya berapa, lalu dikali, nanti
langsung terlihat revenue kita berapa. Dibanding semua daily deals yang
lain, kita take over 80-85% market share. Padahal dulu hanya 40%.
Butuh sekitar 4-5 bulan, sebelum kita bisa mendominasi pasar. Kita
mulai mendominasi pasar sekitar bulan November-Desember 2011. Dari yang
sebelumnya hanya 40-50% saja. Hal seperti ini tidak bisa langsung jadi.
Misalnya kita buat hari ini, lalu besok bisa langsung dapat hasilnya,
tidak seperti itu. Persistency dan fokus yang tepat, dalam jangka
panjang akan membuahkan hasil akhir.
Livingsocial takes about 15-19% market share di daily deals,
tergantung musimnya. Tapi memang sejak Desember tahun lalu, kita take
over sekitar 80-85%.
Kalau Groupon itu kan sangat sales based, antara Jason dan Ferry yang handle sales siapa?
Saya sih, saya lebih banyak handle sales on a daily basis.
Jadi, Ferry memang backgroundnya suka jualan ?
Tidak juga sih, sebenarnya background saya Electrical Engineer
(Teknik Elektro). Jason pun backgroundnya Chemical Engineer. Jadi kita
berdua tidak ada yang punya background sales. Kalau di Groupon itu Jason
fokusnya lebih ke analytical, number, angka kita berapa, lalu targetnya
apa yang kita raih. Kalau saya lebih ke sisi sales. Manage the sales
team, dan push on the team sales-nya untuk mendapatkan promo yang bagus.
Join Groupon Indonesia now ! Semua jebolan Groupon Indonesia langsung jadi Head of Sales di mana-mana - Tweet Ferry Tenka, 31 Mei 2012
Bagaimana cara membangun team sales yang bagus?
Kita belajar banyak juga dari Groupon. Pertama kali melakukan sales
team, itu sebenernya saya yang terjun ke lapangan sendiri. Jadi saat
tahun 2010, kerjaan saya setiap hari selalu pergi ke mall. Mendatangi
setiap merchant, dan minta bertemu dengan marketing manager-nya. Ketika
Groupon masuk, Groupon membantu kita membuat sistem yang bagus untuk
sales.
Sekarang di Groupon itu sudah ada satu sistem yang kita
implementasikan untuk sales team-nya ini. Jadi ada satu sistem, gimana
prosesnya dari merchant yang nol, sampai dia itu jadi merchant kita, dan
bisa tampil di website kita. Menurut saya di setiap company itu akan
beda-beda. Ini satu hal yang Groupon hadirkan ke kita, dan mereka sudah
implementasikan di semua negara.
Sebenarnya, sales is all about persistency. Apalagi
dengan banyaknya kompetitor sekarang yang masuk di space yang sama. Dan
dari Groupon, kelebihannya mereka punya brand image, dan yang kedua,
mereka juga support dari sisi sales team kita.
Supportnya berupa training sales. Kita mempersenjatai mereka dengan
senjata yang pas, bisa berupa proposal yang bagus, cara berpakaian, cara
bicaranya, lalu pitchingnya harus seperti apa ke merchant.
Dan concern dari setiap merchant apa saja, itu sudah kita list down.
Ada sekitar 10-12 concern dari setiap merchant. Kita buat dokumennya,
ini seperti apa, itu seperti apa, bagaimana menjawabnya, jadi sudah
terstruktur banget semuanya.
Kuncinya, menurut saya adalah dari sisi system. Sistemnya harus sudah
jelas seperti apa. Dari sisi AE, tim kita itu semuanya fresh graduate.
Jadi kita tidak hire AE yang sudah 5 tahun pengalaman, semua AE kita
masih fresh graduate.
Ada 2 sales manager yang lebih senior, mereka pun baru 2-3 tahun
pengalaman biasanya, sebelumnya kerja di majalah. Jadi boleh dibilang
mereka itu masih baru, kita feed mereka dengan “makanan” yang tepat
sehingga mereka punya “senjata” yang kuat ketika bertemu merchant.
Sales team kita umurnya dibawah 25 tahun semua. Masih muda semua.
Karena fresh graduate biasanya lebih gampang “disuapin”, daripada yang
sudah berpengalaman.
Sales ini kan tiap hari ke luar kantor, harus mobile, lalu gimana cara mengaturnya?
Company kita lebih berdasarkan pada hasil, result based. Jadi mereka
ada target sendiri yang harus dicapai. Setiap minggu, target itu harus
bisa mereka pertanggungjawabkan. Kita tidak ada jam masuk kantor jam
berapa, harus pulang jam berapa, tidak ada seperti itu.
Bahkan di sisi operation pun seperti itu. Intinya setiap orang punya
kerjaan sendiri, yang penting kerjaan beres, mau kerja jam berapa, mau
kerja dimana, bebas. Karena kita kan online, jadi semua bisa diatur
lewat internet. Yang penting kerjaan beres, bisa dipertanggungjawabkan,
tidak ada masalah.
Ada training motivasi?
Kita belum pernah sampai mengadakan training seperti itu. Biasanya
dari saya sendiri yang jadi konduktor. Setiap minggu pasti ada satu kali
dimana semua team salesnya itu harus berkumpul, dan kita ada sesi
bareng-bareng semuanya. Biasanya saya yang memimpin. Setiap seminggu
sekali pasti ada, setiap rabu sore lebih tepatnya.
Jadi itu seperti training. Pertama, biasanya saya berikan training
masukan, berdasarkan ketika saya meeting dengan merchant seperti apa,
dan ada masukan apa yang bisa saya berikan. Kalau tidak, dari mereka
sendiri yang inisiatif sharing ke yang lain.
“Oke, saya kemarin meeting sama starbucks, this is what happen”.
Mereka ceritakan meeting sama starbucks kesulitannya dimana, apa yang
mereka lakukan. Seperti itu kira-kira.
Sebelum dapat sistem SOP dari Groupon, merchant-nya kan didatangi satu per satu, ada pengalaman apa saja?
Kalau dulu sebelum dengan Groupon, kita lebih coba-coba sistemnya.
Jadi konsep Groupon ini memang kita tiru untuk Disdus (sebelum Disdus di
pinang Groupon). Berdasarkan apa yang kita tahu, keuntungannya untuk
merchant seperti apa, kita lebih mengira-ngira sendiri.
Untungnya, apa yang kita kira-kira sendiri itu 70% mendekati apa yang
Groupon memang ajarkan. Tapi lebih banyak coba-coba sih, jadi seperti
di-adjust. Banyak hal juga yang kita baru sadari ketika kita meeting
dengan merchant.
Awalnya kita pikir “seperti ini”, ketika kita bilang ke merchant,
mereka akan memberikan concern. Concern mereka itu mungkin belum kita
ketahui sebelumnya. Waktu dulu, banyak hal yang tidak bisa kita jawab.
Ketika bertemu merchant, dia memberikan concern ke kita, “kalau begini
gimana?”.
Belum bisa kita pikirkan juga saat itu. Karena concern itu pertama
kali kami dengar, dan itu terjadi berkali-kali sampai kita adjust lagi.
Saya pulang, saya adjust lagi dokumen pitch-nya. Jadi ketika bertemu
dengan merchant lain, jangan sampai saya mengulang kesalahan yang sama.
Tapi lebih dari sisi coba-coba, trial and error intinya.
Sehari bisa bertemu berapa merchant saat itu?
Saat itu, sehari bisa bertemu 4-5 merchant. Jadi pada saat itu kita
ke mall, kita datangi satu-satu. Sekarang sih beda. Kalau sekarang
mereka telepon dulu, kita buat meeting, dan ditargetkan sehari bisa 3-4
meeting. Sudah sedikit beda, lewat telepon, lebih efisien. Kalau jaman
dulu kan lebih “cowboy style”, main “hajar” aja ke mall.
Sistem partnership seperti apa yang dilakukan di Disdus, sepenting apa, dan pengalamannya bagaimana?
Sejauh ini kita belum terlalu aktif partnership ke selain merchant.
Sekarang ada 2 macam merchant yang kerja sama dengan kita. Pertama,
merchant yang biasa, seperti restoran dan spa. Kerja sama dengan mereka,
mereka menawarkan service-nya ke kita dengan harga diskon, lalu kita
jual.
Dengan penjualan itu, kita ambil komisi penjualan. Yang kedua adalah
brand, contohnya yang kerja sama dengan kita sekarang adalah Futami
Seventeen Green tea. Itu kan produk baru, mereka mau launch produk ini,
biasanya promo mereka dikaitkan dengan salah satu merchant.
Seperti yang sekarang terjadi adalah Krispy Kreme. Mereka sedang
promo, mereka memberikan diskon 50%, plus setiap orang yang membeli
Krispy Kreme akan mendapatkan satu botol Futami. Jadi promonya dikaitkan
dengan merchant. Seperti sampling tapi dengan diskon dari merchant
juga. Sehingga merchant lebih tertarik. Sebagai customer juga mereka
tertarik untuk mencoba.
Ada juga yang seperti dulu, Futami pernah kerja sama di promonya
Snowbay. Jadi kalau membeli tiket Snowbay, bisa dapat Futami juga.
Kurang lebih seperti itu sekarang partnershipnya. Belum banyak
partnership yang di luar itu, untuk sekarang ini. Paling ada waktu itu
sama YCAB (Yayasan Cinta Anak Bangsa). Lebih untuk CSR kalau itu.
Bagaimana sebenarnya insight tentang industri “perdiskonan”? Kenapa industri ini sekarang jadi besar?
Menurut saya daily deals ini konsepnya dari pertama memang bagus.
Karena dari sisi merchant, juga tidak rugi. Dari sisi customer, sudah
jelas, siapa yang tidak mau dapat diskon? Harga lebih murah, service
sama, dapat barang yang sama, tapi harga diskon. Kebanyakan yang disorot
lebih dari sisi merchant, kenapa merchant mau?
Padahal yang pertama, mereka harus memberikan diskon 50% atau lebih.
Selain itu, mereka harus memberikan komisi lagi ke kita. Rata-rata kita
minta ke mereka diskon 70-80%. Kelihatannya mereka rugi kan?
Tapi kalau dilihat lagi, sebenarnya kebanyakan bisnis yang kita
approach adalah service business. Di mana yang mereka lakukan tidak
terlalu merugikan, karena mereka sudah mendapat margin yang besar.
Seperti fresh orange atau starbucks, mereka itu marginnya memang besar,
bisa sekitar 70% untungnya. Itu yang kita minta sebenarnya.
Dan yang lebih kita lihat dari sisi activation. Sebagai suatu
restoran, buat mereka, untuk mengakusisi satu customer agar datang ke
restoran mereka dan mencoba makanan mereka, itu yang paling mahal
biasanya. Sekali customer mencoba, kalau mereka suka, kemungkinan besar
akan balik lagi. Itu gampang balik lagi, asalkan makanannya enak dan
customer suka.
Yang susah adalah gimana mengubah mindset orang, yang tadinya ini
adalah restoran baru, mereka belum pernah mencoba, jadinya mereka mau
datang dan mencoba. Itu kan yang mahal sebenarnya.
Makanya biarpun diskon yang mereka berikan cukup besar, tapi kita
bisa mengaktivasi banyak customer baru. Jadi untuk merchant pun tidak
rugi, karena diskon kita ini hanya sekali pakai. Biasanya orang beli
sekali, dia pakai sekali, selanjutnya mereka datang dengan harga normal.
Agak beda dengan diskon kartu kredit. Kalau diskon kartu kredit kan
biasanya ada jangka waktunya, misalnya 2 bulan. Jadi selama 2 bulan itu
ada diskon, orang-orang akan tetap kesana. Setelah 2 bulan mereka sudah
bosan, mereka tidak akan kesana lagi.
Sementara di kita biasanya orang-orang hanya beli satu, pakai sekali,
sudah selesai. Selanjutnya mereka akan balik lagi, tapi sudah tidak ada
vouchernya. Jadi konsep ini sebenarnya menguntungkan juga untuk
merchant. Makanya selama merchant masih perlu activation, menurut saya
konsep ini akan tetap hidup.
Selama hampir 2 tahun menjalankan bisnis, advice seperti apa
yang menurut Ferry penting? Advice dari teman, mentor, atau siapapun.
Dari apa yang saya pelajari, menurut saya, yang paling penting untuk
startup sebenarnya, sebagai startup yang mau berkembang di Indonesia,
kalau mau berkembang itu sudah mulai dipikirkan monetization-nya.
Karena saya sering datang ke beberapa seminar, dan banyak yang
sharing dengan beranggapan bahwa startup Indonesia itu cukup idealis
orang-orangnya. Dari sisi, “saya mau mengembangkan satu konsep, dimana
konsep ini monetize-nya masih belum jelas.”
Tapi konsepnya memang bagus, konsepnya menarik. Menurut saya, kalau
customer tahu, mereka bakal mau coba, tapi monetize-nya masih belum
jelas. Itu yang menurut saya agak mengkhawatirkan. Karena monetize itu
penting di startup Indonesia.
Planning ke sisi monetization itu penting, karena bagaimanapun juga
kita mau membuat bisnis kan, bukan membuat website. Jadi secara
financially, bisnisnya itu mau dibawa kemana, itu sangat penting. Ini
satu hal yang saya pelajari setelah EV masuk dan Groupon masuk.
Saat itu, ketika saya membuat citzel.com (project Ferry dan Jason
sebelum Disdus), kita cukup idealis juga tipenya. “Oh foursquare lagi
hype nih di US”, meskipun foursquare saja masih belum jelas monetize-nya
darimana. Twitter juga masih belum tahu, tapi karena menurut kita
konsepnya bagus, makanya kita buat saja. Karena kita masih cukup
idealis.
Tapi dengan sekarang saya sudah belajar banyak, jadi makin terbuka.
Di mana kalau kita ingin membuat suatu bisnis, monetize ini penting.
Bukannya menakut-nakuti, tapi suatu saat itu akan datang ketika kalian
butuh uang untuk membuat bisnis itu tetap jalan ke depannya.
Monetize ini bukan berarti bisnisnya harus untung, bukan seperti itu.
Tapi bisa cari investasi misalnya. Kita bisa get to certain milestone,
dimana milestone itu memang bisa menarik orang buat invest di kita.
Saya ambil contoh, misalnya e-commerce. E-commerce itu perlu
investasi yang cukup lama sebelum bisa break even point, atau profitable
company-nya.
Seperti contohnya Amazon. Amazon itu butuh waktu sekitar 9-11 tahun
sebelum mereka profitable. Mereka sempat rugi sekitar 3 Milyar dollar,
sebelum akhirnya mereka bisa break even, dan sekarang bisa untung
company-nya. Tapi mereka selalu rugi selama 9 tahun itu yang mau tidak
mau butuh investment.
Jadi memang e-commerce itu perlu planning. Kita kuat atau tidak
dengan dana kita atau dengan investasi yang ada? Atau ketika kita
mendapat investor lagi, seberapa kuat kita bisa “bernafas” dengan dana
investor sekarang sebelum kita bisa untung? Karena bagaimana pun, itu
penting untuk sebuah company.
Di situlah yang ingin saya tekankan. Itu sangat penting karena ke
depannya kalau saya mau membuat yang baru lagi sekalipun, itu yang akan
saya pikirkan dari pertama. Karena biasanya, investor tertarik pada
banyak hal.
Bukan hanya sekedar company-nya bisa untung saja, tapi bisa scale
juga. Kalau e-commerce misalnya membuat infrastruktur yang bagus untuk
e-commerce ke depannya. Itu juga bisa menjadi sesuatu yang menjual untuk
investor.
Sampai sekarang pun saya masih cukup sibuk. Sehari kerja 12 jam. Tapi hardwork bukan berarti “you don’t have a life” juga
Apakah Ferry tipe orang yang hardwork? Pandangan Ferry tentang “hardwork” seperti apa?
Kalau hardwork sudah pasti. Kebanyakan orang-orang mengatakan “you
have to work smart”, tapi sebenarnya “you have to work smart and work
hard” juga penting menurut saya. Hardwork sudah tidak usah ditanya ya,
karena sampai sekarang pun saya masih cukup sibuk. Sehari kerja 12 jam.
Kalau sabtu-minggu saya usahakan tidak bekerja, tapi kadang-kadang masih. Karena hardwork bukan berarti “you don’t have a life” juga. Biasanya saya kerja fulltime, sekitar 12-14 jam saat weekdays, tapi weekend tidak.
Kecuali waktu awal-awal membangun startup, itu sampai satu minggu
penuh harus kerja. Setidaknya hari sabtu pasti kerja. Karena keluarga
saya sebenarnya di Bandung, jadi kadang menghabiskan waktu di Bandung
juga. Lebih suka kerja kalau di Bandung.
Jadi sekarang saya kalau bisa sabtu-minggu pulang. Kalau dulu, paling
hari Minggu saja pulangnya, karena Sabtu masih kerja. Seperti itu
kurang lebih selama 6 bulan pertama.
Dulu kita feature deal Groupon Disdus itu, 3 hari 1 deal saat pertama
kali launch. Lalu jalan satu sampai dua bulan, menjadi 2 hari 1 deal.
Ketika EV masuk, baru mulai 1 hari 1 deal. Saat itu masih cukup
struggling.
Ada kasus di mana ketika sudah jam 9 malam, saya masih tidak tahu jam
12 malam nanti mau diganti deal apa. Akhirnya meeting dengan team,
punya deal apa yang bagus. Sampai jam 12 malam masih membuat
editorialnya. Lalu jam 11.59, baru di enter editorial yang terakhir itu.
But, it’s a good experience. Ketika lihat ke belakang, rasanya jadi
suatu exciting experience juga.
Kalau sekarang, kita sehari sudah punya 9 deal. Jadi terlihat kan
bedanya. Itulah alasannya kenapa Disdus bisa jadi market leader. karena
sehari kita punya 9 deal. 5 yang biasa, seperti hotel, restoran, dan
sebagainya. 4 lainnya barang-barang berupa produk, seperti gadget,
kosmetik, dan sebagainya.
Jadi kita punya 9 deal dalam sehari. Yang paling dekat dengan kita
mungkin living social, mereka punya sekitar 3-4 deal per hari.
Tapi menurut saya pribadi, startup environment is very exciting.
Kalau Groupon sekarang sudah makin besar. Kita punya sekitar 140 orang
timnya di Indonesia. Di jakarta ada sekitar 100 orang, di Bandung ada 15
orang, Surabaya juga ada 15 orang, di Bali ada 4 orang.
Jadi culture of the company sudah agak beda juga. We are moving
towards corporate, corporate type of company. Di mana kita sudah tidak
tahu orang di bawah kita itu namanya siapa. Startup itu kan ketika
timnya masih 20 orang. Kita tahu setiap orang di company tersebut. Kita
bekerja sebagai satu tim. Sangat exciting lah.
Apa passion Ferry sebenarnya?
Sebenarnya saya dan Jason passionate about online business. Kita
berdua dari US, kuliahnya di US. Ketika di US kita pakai website setiap
hari dalam kegiatan sehari-hari. Kita di depan komputer hampir 24 jam,
sering banget di depan komputer.
Karena di US memang segala hal dilakukan di website. Kalau mau beli
barang apapun carinya di website. Waktu di US, kita sering lihat
startup-startup. Dari sisi lifestyle saja, mau beli laptop, beli
kebutuhan sehari-hari, beli makan, atau apapun, saya ke website dulu
baru cari outlet.
Kalau di Indonesia berbeda kan. Kalau mau beli gadget tidak cari
online dulu, tapi cari ke ITC mungkin, atau ke toko handphone. Jadi beda
mindset-nya. Sedangkan di US, kalau mau cari barang online, pasti ke
website dulu pertama kali mindset-nya. Kalau tidak ada, mungkin baru
pergi ke retail store. Tapi kalau di Indonesia tidak.
Dan yang seperti itu justru convenience menurut kita. Karena dengan
mengklik tombolnya, kita bisa dapat apa yang kita mau. Itulah sesuatu
yang kita passionate agar kita dapat melihat yang seperti itu di
Indonesia.
Meskipun background kita bukan dari IT. Tapi untuk melihat itu
terjadi di Indonesia, itu adalah sesuatu yang masih kita tunggu untuk
terjadi pada 4-5 tahun mendatang.
Saat itu Citzel kenapa dibatalkan?
Karena salah satu alasan terbesarnya adalah kita lebih idealis dulu.
Passion punya website, ketemu konsep yang bagus, lalu kita coba buat.
Tapi ternyata tidak terlalu mendapat banyak interest dari masyarakat.
Yang pertama, visitornya belum terlalu banyak pada saat itu. Kedua,
monetization modelnya masih belum jelas. Sudah jalan sekitar 3-4 bulan,
kita masih struggle. Monetizenya dari mana ya? Masih belum terlalu
kepikiran.
Ketiga, waktu kita memulai bisnis juga, kita pikir itu bisa sedikit
in line sama Citzel. Karena tadinya citzel mau kita push untuk local
business. Tadinya kita pikir Citzel itu monetizenya gini, setelah banyak
yang pakai, banyak review, kita bisa approach banyak merchant di
offline.
Lalu kita pikir Groupon pun juga seperti itu, kita approach offline
merchant untuk beriklan di website tanpa ada biaya apapun. Jadi merchant
yang saya tampilkan di Disdus, bisa saya ajak kerja sama juga di
citzel.
Akhirnya kami launch juga Disdus. Tadinya agak bingung juga monetize
Disdus bagaimana. Ternyata setelah Disdus launch, banyak banget yang
tertarik dengan Disdus. Jadi semua tim difokuskan di Disdus. Karena pada
saat itu tim kita masih kecil. Waktu launch itu timnya cuma berlima,
ada saya, Jason, dan 3 orang lagi. Yang 2 itu di bagian IT, mereka
develop websitenya.
Karena masih sedikit, resource-nya terbatas, jadi saya fokuskan di
sesuatu yang kelihatannya lebih menghasilkan saja. Kita juga
profitable-nya baru pada awal tahun 2012, di mana kita mulainya Agustus
2010. Setiap bulan di 2012, profit kita sudah bisa plus. Jadi, revenue
minus expense itu hasilnya plus.
Sekarang sih sudah ke-cover, sudah melebihi apa yang kita sisihkan
kemarin. Tapi kita melihat profitable dari sisi expense kita bisa
di-cover oleh revenue. Mulai dari expense salary, marketing, office,
segala macem, itu bisa di-cover sama revenue kita.
Kita mulai profitable bulan Desember. Tapi kalau dihitung sampai
sekarang sih sudah balik modal semuanya, dari invest segala macem.
Online itu related to customer acquisition, offline itu untuk brand awareness
Bagaimana strategi marketing yang diterapkan?
Strategi marketing kita sebenarnya cukup simple. Orang lihat banner
kita, diklik, nanti akan masuk ke landing page, bukan halaman Disdus. Di
landing page itu ada gambar burger diskon 70%, mereka tinggal masukkan
emailnya. Database email di Disdus sudah 1,5 juta-an per Juli 2012.
Setelah itu, mereka akan masuk ke satu website dimana ada deal-deal
kita, lalu nanti bisa dipilih deal-nya dari situ. Berdasarkan pilihan
yang dibuat, kita bisa tahu kira-kira orang ini tertariknya dengan tipe
apa.
Misalnya dengan tipe food and beverages, atau promo beauty and
wellness. Tergantung pembelian biasanya, dia paling banyak belinya di
kategori apa.
Berarti yang berkontribusi ke database cukup besar memang online marketing? Ya!
Kita menghabiskan dana cukup banyak di online marketing, daripada di offline. Karena offline sama online berbeda. Online itu related to customer acquisition. Karena customer tinggal memasukkan emailnya, lalu bisa jadi customer kita. Kalau offline itu lebih ke brand awareness.
Saya pikir yang paling efektif itu facebook Ads dan google Adwords,
atau google display ads juga. Kalau facebook Ads diarahkannya ke landing
page website kita, tidak ke fanpage facebook.
Cara menggunakan Facebook Ads dan Google Adwords yang efektif seperti apa?
Sebenarnya untuk hal ini ada tutorial lagi yang cukup advance. Kalau
di facebook itu kelebihannya bisa ditargetkan. Misalnya iklan ini cuma
bisa ditampilkan ke cowok, umurnya sekian sampai sekian, tinggalnya di
Jakarta aja, pernah like starbucks misalnya, atau apa-apa itu bisa
ditargetkan.
Jadi sangat efektif. Karena saya bisa targetkan kalau saya mau pasang
display ads yang gambarnya kopi dengan diskon 70%. Saya mau gambar ini
ditampilkan ke orang-orang yang berumur 20-35 tahun, yang pernah like
starbucks, yang pernah like coffebean juga mungkin. Intinya, gambar dan
target kita bisa disesuaikan.
Jadi, kemungkinan orang yang melihat iklan kita itu orang yang suka
hal seperti ini. Cost per click-nya jadi sangat efektif. Satu hal lagi, kita selalu pakai iklan dengan sistem “cost per click”.
Kita tidak pernah pasang iklan dengan tipe banner di yahoo misalnya.
Kalau banner seperti di yahoo atau Kaskus itu kan rate-nya per hari.
Sementara kita maunya selalu yang cost per click.
“Sesusah apa sih membuat website? Bisa lah belajar kilat
!”. Setelah sebulan kursusnya berjalan, “shit ! it doesn’t work! coding
ternyata susah juga.”
Bagaimana cerita awal Ferry dan Jason bertemu dan mendirikan Citzel dan kemudian Disdus?
Saya dan Jason sebenarnya dari tempat kuliah yang sama. Setelah lulus
kuliah, saya langsung kerja di Sandisk selama 3 tahun. Jason kuliah
lagi, mengambil Master di Columbia. Lalu dia balik kesini kerja di
McKinsey Indonesia.
Setelah saya 3 tahun kerja, dia juga sudah 1,5 tahun kerja di
McKinsey, dia sempat menghubungi saya. Dia tanya ke saya, “Plan ke
depannya seperti apa? Tertarik gak kalau kita membangun startup di
Indonesia?.”
Dan saat itu juga, saya sudah tertarik untuk keluar dari company dan
ingin membuka sesuatu. Tadinya mau buka startupnya di US, tapi karena
ada kesempatan di Indonesia menurut saya, akhirnya saya pulang ke
Indonesia.
Kita bareng-bareng membuat startup. Pertama kali, kita buat tahun
2010. Saya balik ke Indonesia bulan Desember 2009. Dan awal tahun 2010
kita mulai buat Citzel. It was interesting.
Karena kita berdua tidak punya background sales,
tidak punya pengalaman bisnis,
tidak bisa coding juga.
Dulu kita pernah mengambil kelas coding di Binus Center, bukan
kuliahnya tapi seperti kursus kilatnya. Selama 3 bulan atau 1,5 bulan
kita ambil kursus coding itu, seminggu 2 kali, dengan durasi 3 jam
setiap pertemuan.
Karena pada saat itu kita pikir, “Sesusah apa sih membuat website?
Bisa lah belajar kilat !”. Setelah sebulan kursusnya berjalan, “shit !
it doesn’t work! coding ternyata susah juga.”
Kita baru sadar tidak semudah itu membuat website. Ini bukan sesuatu yang bisa kita pelajari dalam waktu sebulan.
Lalu kita pikir lagi, akhirnya kita putuskan untuk mengajak orang
lain. Jadi employee pertama yang kita hire itu guru kita sendiri, guru
yang mengajar kursus di Binus itu. Gurunya masih muda, bahkan lebih muda
dari saya. Pada saat itu usia saya sudah 25 tahun, guru kita itu paling
baru 21-22 tahun, tapi jago programming-nya. I think this guy is good.
Ya sudah kita ajak saja. Kita share ide kita, lalu mengajak dia join,
dan ternyata dia tertarik untuk join. Saat itu masih part-time basis,
dia tidak full-time di kita. Lalu kita hire lagi satu programmer yang
lebih junior dari dia, tapi dia lebih seperti mentornya. Kalau sekarang,
dia sudah fulltime dengan kita.
Dulu kita cukup enggan untuk share ide kita, karena takut idenya akan
dicuri. Saat itu kita pikir, “kalau saya share ide ke dia, nanti idenya
dicuri sama dia”. Jadi kita lebih pelit saat itu. Tapi, setelah kita
move on, saya baru lihat, selama kalian share ide tersebut, ide itu
malah jadi semakin bagus.
Karena pada akhirnya, yang menentukan sukses atau tidak itu bukan dari ide, tapi dari execution.
Kalau sama-sama punya ide tapi cara eksekusinya beda, hasilnya juga
akan beda. Jadi, sebenarnya lebih baik untuk share ide kita ke
orang-orang, karena ketika kalian share ide tersebut, akan kelihatan
challenge-challengenya apa saja. Dan kita bisa re-shape ide tersebut.
Dulu saya sempat berpikir juga, “Saya share atau tidak ya ide ini ke
guru saya? Nanti kalau dicuri idenya gimana ya?” Tapi karena kita sudah
lumayan stuck saat itu, jadi ya sudah, kita share ide tersebut, dan
untungnya dia tertarik untuk join. So, we went through that kind of
process.
Saya ingat ketika bulan Februari 2010 sampai Maret 2010 mengambil
kelas kursus coding. Dan di bulan Maret kita sadar bahwa tidak akan bisa
belajar coding hanya dalam sebulan. Akhirnya kita hire orang lain.
Sebenarnya citzel sudah launch di bulan April 2010. Setelah lama
berjalan tapi tidak juga membuahkan hasil, akhirnya kita coba Disdus
juga.
Berry Benka itu sebenarnya lebih ke side project kita. Dulu Claudia Widjaja, pacarnya
Jason (co
founder Disdus), yang sekarang sebagai owner, bekerja di salah satu
fashion company di Indonesia. Dia memang merchandiser, dan punya good
passion dari sisi fashion.
Dia suka fashion, dan dia punya fashion taste yang cukup bagus
menurut kita, banyak orang yang suka juga dengan fashion taste dia. Jadi
kita pikir kenapa tidak coba mengembangkan website fashion?
Karena pada tahun 2011 kemarin juga belum terlalu banyak website
fashion. Banyaknya paling Facebook shop. Belum ada website fashion yang
benar-benar credible. Jadi iseng-iseng saja kita coba buat. Dulu
mulainya juga cuma bertiga timnya. Pacarnya Jason dan 2 orang lagi.
Saya dan Jason tidak terlalu fokus di kegiatan sehari-hari di sana.
Cuma lebih sebagai advisor saja. Tapi lama-lama karena kelihatannya
bisnis itu semakin berkembang, kita mulai menghabiskan banyak waktu di
situ juga.
Awal tahun ini, kita juga sampai diinvest oleh East Venture. Karena
makin berkembang dan kelihatannya ada potensi untuk dikembangkan, make
it a real business. East Venture tertarik, kita butuh resource untuk
hire lebih banyak juga. Sekarang sudah ada sekitar 30 orang di timnya.
Sekarang kantornya di Green Garden, tapi mungkin akan pindah.
Kalau kita lihat dari sisi e-commerce, e-commerce itu benar-benar
perlu capital yang lumayan banyak. Karena dari infrastrukturnya, lalu
kadang-kadang inventory juga. Yang seperti itu memang perlu capital yang
cukup banyak.
Semakin lama kalian menunggu, semakin lama kalian bekerja sebagai employee, semakin tidak mungkin kalian jadi entrepreneur
Apa pesan yang ingin disampaikan untuk para startup?
Sebagai seorang entrepreneur, bagus untuk kalian mencoba jadi
entrepreneur itu. Yang paling penting untuk menjadi entrepreneur itu apa
sih menurut kalian? Menurut saya keberanian adalah hal terpenting,
lebih dari skill, lebih dari capital, lebih dari sekedar marketnya ada
atau tidak.
Biasanya kebanyakan orang yang ingin menjadi entrepreneur, mereka
akan berpikir “Nanti deh, saya kerja dulu aja. Belajar dulu, cari
pengalaman, cari network. Nanti mungkin 5 tahun lagi saya baru jadi
entrepreneur”.
Tapi itu hal yang salah sebenarnya.
Karena semakin lama kalian menunggu, semakin lama kalian bekerja
sebagai employee, semakin tidak mungkin kalian jadi entrepreneur. Karena
5 tahun dari sekarang pasti gajinya sudah makin besar dong? Makin susah
buat kalian untuk keluar dari kerjaan tersebut.
“Aduh saya mau keluar dari company ini, tapi gaji saya udah segini”.
Opportunity cost yang hilang akan semakin besar. Apa skill di
perkerjaannya akan related ke bisnis kalian? Belum tentu juga. Kalau
kalian coba menjalankan bisnis, pasti nanti akan belajar lagi dari nol.
Harus bisa menyesuaikan, harus fleksibel juga. Yang paling penting
jadi entrepreneur itu fleksibel. Kalau yang ini tidak jalan, harus
berani coba yang lain. Jadi, keberanian itu penting.
Apa planning Ferry untuk ke depannya?
Ke depannya, saya mau mengajak lebih banyak orang untuk jadi
entrepreneur. Kenapa? Karena simply, menurut saya di Indonesia, “people
are not supposed to look for job, people are supposed to create jobs”.
Apalagi yang lulusan kuliahan, smart people harusnya create jobs saja.
Karena unemployment level di dunia sangat tinggi, we should create jobs.
Saya dan Jason sempat share bahwa kita tertarik untuk membuat semacam
incubator or something, yang bisa menarik lebih banyak orang untuk
menjadi entrepreneur. But it’s still a longer vision. Mungkin baru 3-5
tahun ke depan. Sekarang ini kita sudah mulai mengajak teman-teman untuk
keluar dari pekerjaannya, dan jadi entrepreneur saja.
Karena sejujurnya menurut saya, di dunia online itu peluangnya amat
sangat besar. Banyak hal yang belum diekspose oleh banyak orang. Kita
sempat share dengan orang yang bekerja di Bank, “Ngapain kerja? Coba
jadi entrepreneur aja”.
Apalagi untuk online ini sekarang sudah banyak banget investor yang
ingin berinvestasi di Indonesia. Bagusnya untuk Indonesia juga, kalau
mereka invest di Indonesia, uangnya dihabiskan disini kan. We need
those. Saya harap ke depannya juga pemerintah lebih support untuk para
pebisnis startup seperti ini.
Karena beberapa kendala yang pernah kita hadapi, seperti membuat PT
disini bisa sangat lama, butuh waktu sekitar 2-3 bulan untuk membuat PT,
tidak masuk akal kan? Dari PT mau jadi PMA, butuh waktu beberapa bulan,
butuh biaya lagi juga. Mau membuat bank account butuh waktu sebulan.
Regulasi-regulasi seperti itu yang menurut saya perlu dipermudah.
Kalau kita sebagai entrepreneur mau membuat bisnis, tapi malah
terhambat dengan yang seperti ini, sebenarnya jadi menambah beban
masalah yang tidak perlu kan? Saya sangat berharap, ke depannya
pemerintah bisa lebih suportif.